Rabu, 04 November 2009

Puisi-puisi solihin ardy rangkuti

Sebentuk mimpi

pada sebuah pagi
ranting matahari masih menyempit di dedaunan rimbun
ia mengejar mimpi malam tadi
dari sisa waktu yang tergores di jalan yang selalu dilalui
cekah matahari tertutup butir-butir embun
menggumpal di ujung matanya

”mungkin saja salah arah,
sayang sekali, mimpi malam tadi tidak meninggalkan alamat”.ia bergumam

tubuhnya merekat pada angin dan mencecah bulu-bulu kabut
agak bersisik dan serasa dingin
sebab butir-butir embun masih tersisa di dedaunan dan semak

di ambang siang
ia sampai pada arah mimpi yang lain
di perkampungan sunyi
hanya beberapa penduduk tinggal di sana
anak-anak terasing di ujung mimpi yang gelap
laki-laki dan perempuan terpisah tapi tetap berdekatan
mereka menganyam waktu agar tetap muda

menjelang sore
ia menghampar tikar dan merebahkan tubuh
hayalnya bergelayut diterpa angin
mengingat-ingat mimpi malam tadi
bertemu anak-anak yang terasing
di perkampungan sunyi
ia tersentak
mengendap
dan terjebak dalam mimpi

agustus,











Kepada kekasih

Metro, 21 april 2007
Dear,
minggu ini aku terkurung hayalku.Tak ada jalan keluar, kuperiksa sudut-sudut kamar ini dan semua terkunci, ada sedikit celah yang hanya cukup untuk keluar masuk napasku,
I miss you,
ingin kutumpahkan semua yang mengganjal di pikiranku, tapi ruang ini sesak, tak cukup menampung semua rindu yang kurekat di dinding kepalaku, rambutku mulai kusut, hanya sesekali saja jemariku membelainya.
Baby,
aku ingin melepas terali yang menghujam tubuhku, melepas rantai yang membalut ruhku, mengusir kangen yang menghimpit tubuhku, melebur jasadku yang tergolek bersama-Mu ruhku-ruh-Mu
































Namanya Ali Topan
-senja di ufuk
bayangan
gelap
merengguk desai angin
dan malam kelam
tak ada yang peduli
pada waktu yang rapuh
di gedung-gedung walet

namanya Ali Topan , ia pandangi lampion pudar
biasanya tukang somay mangkal
hingga larut
di taman
sunyi

malam tinggal sepenggal
lamban
membentang jala maut
dan merekat di jalan-jalan

burung burung meninggalakan sarang
menanggalkan sayap di ranting-ranting pohon
dan menebar bulu-bulu di sekujur trotoar
-angin merayap
remang
di taman
Ali Topan lelap, terbungkus koran sisa hajatan

minggu ini liburan sekolah
pengemis pulang kampung
pemulung raib
tinggal perempuan-perempuan yang padat pinggulnya
dan Ali topan

kepak angin merendah
Pada pedagang kaki lima
Ia lipat kardus kardus yang tercecer
Ia teguk segelas cendol yang sedikit basi
lalu rebah

pagi menyiput
sebab malam tadi lembur di taman merdeka

Ali Topan namanya,
ulang tahun kota ini tak pernah ia rayakan
lalu langkahnya menuju taman
tapi sampah- sampah belum dibersihkan

ia telanjang
mencari bajunya yang hilang
mengacak rambutnya yang gimbal
melangkah
berpapas ajal
di gigir trotoar

Metro, Agustus 2007

Di ruang tamu

Ia ingat bening bulan
terendam mendung
cercap rintik
tiba tiba menjadi garang
merengkuh bulir - bulir hujan

ia menyusun rinai rinai
bertabur dikoyak petir
diremas hujan

di ruang tamu
sebuah pas bunga kosong

bunga itu telah pergi bersama waktu yang gelap
bunga yang kau tanam di musim gugur

akarnya memercik sunyi
daunya meretas air mata kita
menjadi buih rindu
membatu













Rumah-rumah bisu

I
kau tinggaldi sini
rumah-rumah bisu
warna-warna nasib melekat di bibirmu
warna yang tersisih dari serbuk-serbuk debu
yang melintas tiap hari
menyisir rumputan dan berkeliling pagar
gedung-gedung baru

di rumah-rumah bisu
cita-citamu hanya semu


-Menjelang sore
kau nanti suara mereka
hingga gema bedug maghrib
tak singgah di ruang ini
lalu sepi membalut petang

-Petang menjulang
kau sempat dengar isyarat
sepanjang tembok rumah ini
langit lebam bergegas kelam
lalu terantuk guyur hujan
lampu menjadi padam
hanya tersisa binar ublik menelusup mata mereka yang membilis
merekat dalam pekat

II
mereka bercakap-cakap,
merintih dan tertawa
padamu yang singgah sejenak

terkadang mereka ungkap lewat huruf-huruf yang disusun di meja-meja
tembok tembok dan ranjang mimpi mereka

-Isya bergelayut
rempah-rempah doa membuncah
desah-desah mereka hangat mengguyur ruang
malam terus mengalir
tergerus semilir
dan hening merayapi tubuh-tubuh mereka

jam dinding berdetak lamban
berebut decak – decak dada mereka
mengiring retas air yang ditiris genting
III
-Paruh malam
semua membelam
lelap
di atas ranjang
ada isyarat yang terungkap lewat jemari yang muda
lalui guratan waktu dan catatan angin
kuncup fajar nampak merunduk
rebah di rumah-rumah bisu

Purbolinggo, 2006-2007

































Tujuh bidadari mandi di kali

hari memang selalu tak berubah
tidak pula ditandai warna
padahal cukup tujuh hari
seperti tujuh bidadari yang sedang mandi di kali dengan warna pelangi yang sudah ditandai

hari senin anak-anak sekolah berebut warna
saling unjuk gigi
merasa paling hebat
warna merah paling disukai anak-anak
hari selasa warna itu luntur
menjadi blonteng-blonteng
tapi warna kuning masih bertahan
dan dipakai sampai hari sabtu

hari minggu warna tadi berbenah diri
menyusun kembali cara untuk menguasai
ada yang berkoalisi mencari dukungan paling tinggi
dan menghasilkan warna baru yang berbeda

tujuh warna tadi sudah ditinggalkan bidadari
kini mereka mandi sendiri di kali
membersihkan noda yang bercampur selama tujuh hari
warna putih tetap lusuh meski sudah dicuci tujuh kali setiap hari selama tujuh hari
kini warna itu mencari hari yang tepat untuk ditempati
mereka berputar-putar tujuh kali sehari selama tujuh hari mencari tujuh bidadari
yang mandi di kali

















Bayang bayang waktu

air mata meleleh lagi
di senja yang garing menatap sunyi
hingga angin melenguh
mendekap sisa musim

di ceruk kenangan
tersimpan sengau luka
hingga gemerisik dedaun kering tak terdengar
aku setubuhi angin dan debu
lalu menyusun nisan
di kelopak mata senja

tentang esok?
hanya gurauan dari bayang bayang waktu

Kotabumi, September 2006


Paruh Malam

mimpimu terjerembab di pekat malam
sembunyi dari tatapan angin
dan rentang waktu

malam tinggal separuh
butir-butir sunyi mengikis
kulitmu yang lembut
semilir angin mengendus tubuhmu yang harum
jarum jam melangkah lamban dan mati
dikoyak pusaran hasrat
yang kau hirup sarinya
dalam satu nafas

dan
tatapanmu semakin liar
terhempas di seberang masa
tempat biasa kita berbincang

kau rebah dalam bayanganku
meratap
menjadi asing
bersanding bayangan yang sekian lama
hilang

lalu peluh mengalir
di gurat keningmu

airmata yang keruh

tak tampak nadi yang berdenyut
atau mata yang mengerlip

agustus, 2007

Isyarat angin

ia ingin hanyut di alir nadi-Mu
di bukit malam yang kasyaf

napas-Mu mengendap
di sela bibirnya
yang menghalau gigil
dan membakar berahi

di lubuk januari
tirai hujan
menutup waktu
merajam tubuhnya
lalu pusaran debu kembali ke tanah
mengurai ribuan pesan
yang lama tertimbun
kemudian menjelma rumput dan ilalang

debu-debu gegas merekat
mengukir warna daun yang masih muda
dan menawarkan padanya
tentang goresan-goresan hidup
yang tak selalu lurus

isyarat angin menyusun
garis hujan hingga teratur
lalu sepi setubuhi kelam

ia urung
menuai benih
bersama-Mu

januari 2007


Sebuah taman kecil

kami duduk di bawah pohon
menunggu pentil jambu jatuh
dan menyusun baris-baris puisi
lalu terbentang di tanah

kami tak sempat lagi menulis puisi
karna setiap kata yang kami rengkuh
selalu dilibas angin
yang diam-diam mengendap

di sebuah teras kecil
kursi bambu dan sebuah taman bunga yang sempit
rumput-rumput tumbuh di kursi itu
kami hanya menunggu kupu-kupu bermain dengan serbuk jambu
menabur kata demi kata menjadi bait-bait puisi
dan bergelayut pada dahan dan ranting

Februari, 2008

Bulan itu merapat

bulan itu merapat pada kaca kamarmu
dan berbisik tentang urai rambutmu
matamu basah seperti embun yang mencair menatap matahari
awan pasang di langit yang tenang
bintang-bintang terhempas di peraduan kamar

kau merantau di siluet mimpi
jalan pulang menjauh dari pintumu
angin mencecap pipimu
teriakmu lamban
“Aku ingin tenggelam dalam mimpiku”
dan karam di dalamnya


Januari, 2008








Pada seutas benang yang menjulur ke langit


ia mencecap amis angin yang terbang di depan rumah
aroma kecut menyeruak
dari karung bekas
yang setiap minggu diangkat

ia mengibas seikat kenangan
kenangan waktu yang dirangkai
pada seutas benang yang menjulur ke langit

dulu pernah terjadi,
ketika ia menghitung detak jam
meniris keringat yang bau
mengusap peluh yang melekat di dahinya
ia terus merajuk pada nasib
di depan pintu yang sepi
menyusun angan di kepalanya
mengorek kata yang tepat
tapi ia gagal memilihnya menjadi sebuah pesan yang membalut kesunyian

gundah terpuruk di tumpukan sampah
resah bersemi di kedalaman jiwa
air mata hanyalah lintasan kesedihan
yang menghiasi warna pagi dan petang
menjadi buih liar menebar di halaman wajahnya

orang orang menyisir angin memuja waktu
tapi ia memahat udara di bawah terik
ada bahagia yang ditinggalkan
langkahnya merubah masa
meninggalkan tapak tapak yang diraba debu

sepenggal hari tak sekadar mampir di benak siang
di hamparan sampah tanpa aksara
ia menjadi sajak elegi yang membumbung ke langit

agustus, dua ribu delapan







Ode November

ada bincang dari atap yang bocor di dapur
dalam rumah kontrakan kita
mengisyarat malam runtuh
malam yang rusuh


butir air yang jatuh
dan lantai penuh
genangan
suaranya parau
seperti memanggil namamu

di sudut pintu
tubuhmu
masih menggigil
lelah
dikunyah
percik air

seperti rempah

air yang menetes itu berkisah tentang
hujan yang menunggu badai
badai yang menangkap petir
petir yang menari bersama sosok cahaya
melepas penat di udara
cahaya yang meleleh merupa rintik yang tajam
dari kelopak November

rintik itu menjadi bercak-bercak sajak
menempel pada tembok tembok yang kau cipta

di ruang ini
di sudut kamar kita
air bocor dari matamu

16 November 2008







Nisan Pada Cermin
- Kepada Ruh Suci

Ia antukkan kepalanya pada cermin
agar jasadnya menyatu pada cahaya di dalam
melambung, menembus ruang yang beda
menggapai ruh yang lepas dari ubun ubun

ia hirup secawan udara hangat
pada jasad purba mengembara
dalam mimpi terjal

ia melihat nisan yang tertulis namanya
pada sebuah tikungan
menghujam dahan rapuh di sisi senja

dari hujan yang keruh
ia menebar reranting kering
mengelilingi gundukan kabut
jelma pesanggrahan kramat

bongkahan ruh ruh tak bernama bersarang di sebagian kepalanya
mengakhiri tidur yang panjang
selembar angin yang ia lipat di atas awan
menjadi alas di gigir musim penghujan

dari matanya,
ia mencapai tangga langit yang penuh kawat berduri
ia membajak malaikat malaikat yang sedang membawa buroq
dari bumi mendekati matahari
lalu ia berenang menuju rimbun pohon yang berwarna merah
bersandar pada bebatuan yang sejuk
ombak yang bergulung di langit serasa dingin di kuduknya
nyala api yang berkerumun di kulit matahari mengusap kulitnya yang kasar
ia terapung di udara menerpa dedaun, pepohon, bebatu hingga hangat.
25 Desember 2008









































Musim Hujan Di Rumahku

hujan baru saja merubung rumah kita
ada sebentuk rinai melekat pada bunga yang layu di teras
memberi tenggang pada ruh kamboja yang pergi - untuk kembali.
karna siang tak nampak di pelipis awan

lenis anak kita lelap
di kontrakan ini
sejuk melumuri jiwa jiwa yang lelah
rambutmu yang panjang kau lapih sepanjang bahu agar tak semrawut
seperti hidup yang kusut

agar hujan tak luber menggenangi rumah rumah penduduk
kau menyumbat setiap lobang yang terocoh dari setiap atap rumah
dengan pakaianmu

berulang kali
air menggenangimu
menerobos celah dinding yang belum dierat semen
hujan reda tiba tiba
matahari nongkrong di atap
meniris air yang melimbur
debu debu kembali kering nelusup wajahmu yang berseri menatap langit
menggapai burung burung yang bertengger di ranting.

Metro, 2008






Irama Kecipak

Senja baru saja beranjak
kau berlari mengejarnya menari dalam hujan
menantang mendung merah
tinggal di atap rumahmu

diam diam goresan cahaya memancar dari baris baris hujan
meliuk ikut irama kecipak
menari bersamamu

malam membentangkan sayapnya
berputar merekat bayang
berpancar dialir kilat

detik detik hujan semakin melamban
lolong azan menyela gemercik air

berjam jam kau menari
beribu bahasa yang hilang
hingga menyisakan rintik
dan tubuhmu gemelugut

kau tersenyum
percikan petir telah menghias dirimu

September, 2008







Selametan

tikar digelar
Orang orang sudah bersila memutar
Di pojok rumah menyan dibakar

genduri dimulai
ia menaruh sesaji
untuk ibunya yang tiap malam jumat menjenguknya
tapi ia tak berkata-kata hanya matanya yang penuh isyarat tanpa makna

pembacaan yasin dimulai
dan mata-mata meredup seperti lilin yang terkikis api
semuanya menguap
hanya tinggal dirinya yang tidak menguap
karna tak sempat ia isyaratkan rasa kantuk yang dalam
ia hanya mendesis di pojok
mengiringi aluna surat yasin yang masih didendangkan


Sajak Yang Tercecer
ribuan bait puisi tercecer di sekeliling rumahnya
dan selalu bertambah tiap waktu

ia selalu tersenyum ketika kutanyakan “kenapa tidak lekas kau susun bait-bait itu menjadi gundukan puisi yang dapat kau pajang di ruang tamu”
“aku akan menyususnya setelah dapat membuka beberapa bait yang terkunci”

matanya cekung dan kuyu.Mulutnya pun serasa berat menyusun kata kata untuk menjawab pertanyaanku

aku temukan beberapa bait yang tercabik di kotak sampah
“ah,baris baris itu sisa buang hajat anakku,ia susah disusun dan kucampakkan di belakang rumah”












Senja Terdampar Di Pelabuhan


senja itu terdampar di pelabuhan
dan gerimis menjamah kita lewat desir angin
berbisik tentang hari yang masih tergolek di pesisir

kau tersenyum di perahu tua milik bapakmu
sementara air laut merah, sore itu
jejakmu tersimpan ombak yang mulai surut

pada sebuah petang yang menjulur ke tengah
bintang-bintang mulai berkedip-kedip di permukaanya
diterpa ombak silih berganti
jaring-jaring pun sudah terpasang
butir hujan menyekap

di kejauhan

penet, 2007
Sperma Angin

puisi-puisi ini mandul. Ungkapmu
ia tak terjamah sperma-sperma angin yang muncrat dari air hujan
sambil tersenyum kau kumpulkan bait-bait yang berserak
meski sisanya terbawa gerobak sampah
dijilati anjing
disosor bebek
dan diinjak-injak teman sendiri

puisi yang tersayat itu kau jahit kembali
kau balut lukanya dengan sapu tangan
bekas ingusmu

Metro, 2007










Topeng Anak Cacat

seperti biasa aku berlama-lama di kamar mandi
membersihkan noda yang mengerat tubuhku
sisa dosa siang kemarin
mengental di aliran darahku
sebab uang anak-anak cacat aku belikan sate dan sop buntut malam tadi
darahku muncrat lewat lambungku yang lelah menggulung
uang receh anak-anak itu
saluran napasku tersumbat di gerbang sekolah
tulang-tulang ayam yang kumakan tak sanggup dicerna

aku memasang topeng dan membingkainya dengan rapi pada wajah sendiri
menyumpal telinga dengan kapas yang luntur
memakai kacamata hitam
melipat nurani
menghampar seribu wajah
dan membuat topeng yang berbeda
dengan tanganku sendiri
merumuskan tujuan-tujuan yang tamak
Purbolinggo, 2007

Setelah Sarapan

Aku minum secawan teh di bawah rak buku yang masih kosong
Metro, 2007

Merajut Masa
matahari lambat merangkak pada candela rumah kita
dan kau sudah siap meminum rajutan akar ceplian
yang direbus ketika matahari sedang lelap
tetangga kita dengan sabar menunggu jendela papan terbuka untuk bertukar barang dan pamer gelang
kadang-kadang kita bercerita di bawah pohon rambutan
tentang masa yang telah usang
hingga matahari rebah di atas rumah kita
lalu kau bersandar pada sebuah tiang rumah menatap waktu dan dahan kelapa yang kering
Kotabumi, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar